Hari ini Aku Bahagia


‘Aku kangen mas Anas..’

Menarik nafas panjang. Aku berdiri menunggu taksi yang menjemput aku dan ibuku pagi itu. Suasana ibukota ramai. Paling tidak di kampung yang menampungku selama hampir empat tahun ini. Di sekeliling ku lihat bocah-bocah berlarian. Seragamnya merah putih. Cantik dan ganteng. Persis seperti aku waktu masih sebaya mereka.

‘Eh Fir, ayo adu karet. Lu pasti kalah deh nglawan gue!’
‘Sembarangan lu, pasti gue yang menang laah..’
‘Yaelah, kemaren aja lu ampe nangis ngadu karet ama gua’
‘Ape lu, ntar deh gua panggilin temen-temen gue. Masih brani g lo?’

Hehe. Dasar bocah Jakarta..
“Kalau main gobak sodor aku pasti bisa. Selalu menang soalnya. Lebih seru daripada main karet”, batinku.

Mobil warna biru yang aku pesan subuh tadi sudah datang. Membuyarkan lamunanku. “Monggo buk, taksine sampun”, aku mempersilakan ibuku masuk terlebih dahulu ke dalam taksi. Sambil mengangkat sedikit jarikku aku menyusul ibuku. Aku menatap mata ibuku. “Mpun manis dereng, Buk? Hahaha..”, aku bertanya sambil cengar cengir gag jelas. “Uwis nduk. Wis manis tur ayu. Ning yen ngguyumu jik ngakak ngono kui yo dadi ra sido”. Aku menegapkan dudukku, merapikan posisi jilbabku yang sebenarnya sudah rapi, lalu tersenyum kecil. “inggih buk..”


Aku melihat jam di tangan kiriku. Setengah tujuh pas. “Gedung Sriwijaya ya, Pak”, setelah memberi tahu tujuan kami kemana, aku dan ibu hanya terdiam. Tiba-tiba suasana jadi sedikit tenang. Aku melihat ke luar jendela. Anak-anak kecil yang janjian adu karet masih bisa terlihat olehku. Namun jelas semakin menjauh. Aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela. Lalu tersenyum. Empat tahun ternyata bukan waktu yang sebentar. Dan hari ini salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku. Kalau saja dulu aku tetap memutuskan untuk kuliah di Solo, mungkin tidak pernah aku disapa suasana yang sedemikian nyamannya. Aku menikmati suasana ini. Bertahun tahun hidup di kampung ini membawaku menyediakan satu tempat rindu.


Aku melirik ke arah ibu. Ternyata beliau juga melakukan hal yang sama. Melihat ke luar, ke arah jendela. Entah apa yang beliau pikirkan tentang tempat tinggalku, lingkunganku, dan apa-apa yang menjadi guru kehidupanku. Taksi berjalan cepat melewati jalanan ibu kota yang belum terlalu macet. Empat tahun menghadapi kemacetan, aku seharusnya khatam pelajaran kesabaran. Hee...

‘Aku berhenti di lampu merah jalan Thamrin. Aku lihat restoran padang yang pernah mas Anas ceritakan. Rame banget, persis seperti kata kamu..’ 


Kami terus diam. Seperti sengaja memberi jeda untuk menikmati suasana ini. Hehe.. ibu dan anak memang harus saling mengrti. Tiba-tiba saja handphoneku berbunyi. Nada deringnya lagu Seurius, 17 Desember. “Sha, kamu dimana to? Lha wong nyalon aja kog lama buanget. Gek ndang cepet. Wis diabsen ki. Acaranya udah mau dimulai ”, di telfon suara Ningrum menggema di telinga. Bocah ini selalu saja mengingatkan di saat genting. Lebih tepatnya grusa grusu. “Iyo Ning, aku wis ning ngarep gedung. Kamu dimana?”, tanyaku. Sebelum dia menjawab, telfonnya sudah diputus. Dasar bocah gemblung.


Setelah menutup telfon dari ningrum, aku dan ibu bergegas ke luar dari taksi menuju ke gedung utama. Suasananya ramai sekali. Banyak mobil di parkiran. Banyak bapak-bapak mengenakan batik dan setelan jas resmi. Kelihatan jadi ganteng semua. Tentu saja banyak diantara mereka yang menggandeng wanita. Kalau dugaanku tidak salah mereka adalah isrinya. Berkebaya lengkap dengan sanggul atau jilbab yang berhias bunga. Yang paling menarik adalah gadis dan pemuda sabayaku. Subhanallah. Aku tersenyum, lalu melambai pada mereka yang aku kenali. Mereka tidak kalah cantik dan ganteng. Aku suka sekali hari ini. Mereka semua teman seperjuanganku yang tidak mudah dikenali. Berbalut batik dan kebaya. Semuanya. Tidak terkecuali.


‘Mas Anas, hari ini aku wisuda. Bagaimana kabarnya mas Anas? Hmm.. Aku cantik lho. Temen-temanku juga. Di sampingku ada ibuk. Mas anas tahu kan, wanita paling jago masak opor ayam yang pernah aku ceritakan pada mas Anas dulu. Ada juga Angga, ketua kelas bawel di tingkat 1 yang dulu sering memarahiku lantaran sering membuat gaduh kelas. Ehm, ada Ningrum juga. Dia manis, hehe.. Mas Anas, udah dulu ya ceritanya. Titip salam buat Tuhan. Baik-baik ya mas disana. Heh? Kekasih? Yang bisa bikin aku senyum-senyum sendiri masih mas Anas kog...’


Mungkin aku sudah gila. Terbiasa menceritakan semuanya pada mas Anas sampai lupa kalau dia sudah dipanggil terlebih dahulu. Seandainya kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin hari ini dia jadi melamarku. Tepat hari ini. Ah, tidak seharusnya bersedih di depan mereka semua yang tersenyum untukku. Dan hidup tidak akan terus menungguku.


“Nasha Ayu”, suara seseorang yang memanggilku lewat mikrofon tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku beranjak dari kursi dan tersenyum lebar sekali. Ini untuk ibuk. Untuk dua laki-laki yang lebih dulu pulang. Laki-laki yang aku sayangi, bapak dan mas Anas. Kupercepat langkahku. Ya Allah, sampai juga di tahap ini. Nasha Ayu, S.St.









‘Terimakasih ya mas.’





0 comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir :))