Perahu Kertas

Salah satu novel terbaik yang pernah saya baca. Sungguh. Saat membacanya sering segera ingin menuju bagian selanjutnya. Tapi, waktu tiba di bagian tertentu, saya sengaja berlama-lama. Sekedar untuk merasakan keindahan bahasa milik Dee atau sengaja berperan menjadi Kugi dalam novel ini. Hehe.. Tapi saya sering membayangkan jadi Luhde juga.




And this is my favourite pages.. ^.~a

_226_

Ia teringat bebunyian itu. Lebih dari setahun yang lalu, bercampur dengan satu lagu yang dulu ia putar hampir tiap malam saat memahat sendirian di sini. Lagu yang selalu mengingatkannya pada orang yang sama. Pelan, hanya untuk didengar dirinya sendiri, Keenan mulai bersenandung:

“And my bitter pill to swallow is the silence that I keep/ That poisons me, I can’t swim free/ The river is too deep/ I am no worse in love with your ghost/ In love with your ghost ...”

Nada terakhirnya menggantung di udara. Menyisakan suara bambu dan suara-suara dalam kepalanya. Keenan teringat kata-kata Luhde. Kenangan hanyalah hantu di sudut pikir. Dan selama ini, ia telah memelihara sebuah cinta pada kenangan, pada wujud yang tak lebih dari bayangan, sekalipun Kugy adalah bayangan terindah yang pernah hidup dalam hatinya.

Keenan memejamkan mata. Meresapi perih yang merasuki seluruh sel tubuh. Namun, ia pun tahu, sudah saatnya ia melepaskan bayangan itu. Keenan mengecup pelan pahatannya. “Kecil ... mungkin ini memang bukan untuk kamu,” bisiknya. Baru sekali itu Keenan merasakan perihnya perpisahan yang dilakukan sendirian.


_299_

“Wayan ...,” sergah Lena, “aku ... minta maaf.”
“Kamu nggak perlu minta apa-apa, Lena. Semuanya aku lepaskan untuk kamu.” Wayan tersenyum tipis.

Sesuatu seolah membuncah ingin keluar dari dadanya, Lena nyaris tak bisa berdiri dan berucap, tapi ia pun tahu kesempatan ini mungkin tak akan ada lagi. Ia harus bicara. “Aku harus meninggalkan kamu waktu itu. Aku tidak mungkin mengorbankan Keenan dalam perutku. Dan keputusanku bukan karena Adri ... bukan karena hatiku yang memilih dia ... tapi karena kandunganku ....”

“Lena ... sudah. Aku tahu. Aku mengerti. Dan aku bahagia kamu memilih untuk mempertahankan Keenan.”

“Antara aku dan Adri waktu itu—”

“Apa pun yang terjadi antara kalian berdua, tidak lagi penting buatku sekarang. Kalian sudah membuktikannya dengan bertahan bersama sekian lama. Aku senang dia mampu menyayangi dan mengurusmu dengan baik,” Wayan mengatur napasnya yang menyesak, “hati kamu mungkin memilihku, seperti juga hatiku selalu memilihmu. Tapi hati bisa bertumbuh dan bertahan dengan pilihan lain. Kadang, begitu saja sudah cukup. Sekarang aku pun merasa cukup.”

Lena merasakan kedua matanya panas, tapi tak ada air mata yang keluar.


_390-391_

Luhde menyandarkan kepalanya di dinding, memandangi pamannya yang duduk memunggunginya. Sudah beberapa hari ini pamannya giat melukis. Mungkin karena baterainya sempat terisi dengan kedatangan Keenan beberapa waktu lalu. Sudah beberapa hari ini, Luhde malah tidak bisa tidur. Hatinya resah. Nyaris tidak pernah tenang. Dan, sama seperti pamannya, itu pun disebabkan kedatangan Keenan.

“Poyan ....”
“Ada apa, De?”
“Bagaimana kita bisa tahu kapan waktunya untuk menyerah, dan kapan waktunya untuk bertahan?”

Mendengar pertanyaan Luhde, Pak Wayan berbalik. “Poyan juga tidak pernah tahu,” jawabnya lugas.

“Dulu, Poyan memutuskan untuk menyerah. Membiarkan meme-nya Keenan memilih orang lain. Kapan Poyan merasa bahwa itulah keputusan yang tepat?”

“De, sejujurnya, apakah itu menyerah, atau justru bertahan ... Poyan tidak pernah tahu. Bahkan sampai hari ini. Apakah ini menyerah namanya? Barangkali betul begitu. Tapi dalam apa yang disebut menyerah, Poyan terus bertahan. Poyan tidak tahu. Tapi hidup yang tahu.”

Luhde menggigit bibirnya. Ia ingin mengucapkan sesuatu, sekaligus gentar dengan reaksi pamannya nanti. Namun, desakan itu sangat kuat. “Poyan ... jangan marah kalau saya ngomong begini, tapi ... saya nggak mau jadi seperti Poyan. Atau seperti meme nya Keenan. Sepuluh, dua puluh tahun dari hari ini, saya masih terus-terusan memikirkan orang yang sama. Bingung di antara penyesalan dan penerimaan.”

Wayan terdiam mendengar luncuran kalimat dari mulut keponakannya. Ia seperti dicekoki segenggam pil pahit sekaligus. Getir, pedih, tapi ia merasakan kebenaran dalam katakata Luhde. “Kamu benar. Jangan jadi seperti Poyan,” ujarnya lirih.

“Tapi, bagaimana saya bisa memutuskan itu?” ratap Luhde.

“De, Poyan percaya hidup ini sudah diatur. Kita tinggal melangkah. Sebingung dan sesakit apa pun, semua sudah disiapkan bagi kita. Kamu tinggal merasakan saja,” Wayan berkata lembut, “rasakan saja, De. Kamu pasti tahu jawabannya. Begitu juga dengan dia. Tidak ada yang bisa memaksakan, apakah Keenan memang untuk kamu atau ... untuk orang lain.”

Jantung Luhde serasa berhenti berdegup. Poyan sudah tahu.

“Pada akhirnya, tidak ada yang bisa memaksa. Tidak juga janji, atau kesetiaan. Tidak ada. Sekalipun akhirnya dia memilih untuk tetap bersamamu, hatinya tidak bisa dipaksa oleh apa pun, oleh siapa pun.”

Luhde menunduk. Menyembunyikan matanya yang berkaca- kaca. Ia memahami apa yang diucapkan pamannya. Yang belum ia pahami adalah, mengapa harus sesakit ini rasanya?


_430_

Keenan tak tahu lagi harus berkata apa. Segalanya seperti jalan buntu. “De ... kalau memang saya harus pergi, saya rela. Tapi, tolong kasih tahu saya sekali lagi ... kenapa?”
desaknya, meratap.

“Saya belajar dari kisah hidup seseorang. Hati tidak pernah memilih. Hati dipilih. Jadi, kalau Keenan bilang, Keenan telah memilih saya, selamanya Keenan tidak akan pernah tulus mencintai saya. Karena hati tidak perlu memilih. Ia selalu tahu ke mana harus berlabuh,” Luhde menggenggam tangan Keenan sejenak, “yang Keenan cari bukan di sini.”

Keenan terdiam. Seiring angin yang bertiup serupa tiupan seruling, mendadak benaknya terisap ke masa lalu. Kembali ke malam saat ia mendengar angin berbunyi serupa, menggoyangkan kentungan bambu yang tergantung di tepi atap bale. Malam di mana ia membuat pilihan. Ucapan Luhde menyadarkannya. Ia hanya memilih untuk memberikan seonggok kayu berukir, sementara apa yang mendorongnya untuk mengukir tak pernah bisa ia berikan. Keenan mengatupkan matanya erat-erat. Semua ini terlalu getir untuk ia telan. Namun, inilah kejujuran.

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir :))