Mas Dahlan

hatiku sedang tidak baik

banyak kejadian yang minta diberi penjelasan
tapi tak kesampaian

masa lalu membuat hari ini kadang lebih berat

bagaimana mempertanggungjawabkan perasaan yang dulu pernah ada
yang hanya tersimpan dan tak tersampaikan
yang sampai sekarang pun,
masih dalam

bagaimana jika si A tidak bisa melupakan si B
sedangkan saat ini ia terpaut janji dengan si C

banyak kejadian yang minta diberi penjelasan
tapi tak kesampaian

maka diam adalah tembok
dan saat tembok itu sudah sangat tinggi
keputusan untuk berlanjut dengan keadaan seperti makan buah simalakama

si B yang mati
atau si C yang mati

dan mematikan salah satunya adalah menghidupkan satu yang lain

tidak bisa meletakkan 2 hati dalam 1 wadah

dari dulu kamu tahu. Selalu begitu. denganku.

***



***

Makan buah simalakama. Bahkan itu sejenis buah apa aku sendiri tidak tahu. Tepatnya tidak mau tahu. Yang jelas, ungkapan yang ku buat dalam surat untuk mas Dahlan sudah sangat jelas maknanya. Paling tidak, begitu kata buku peribahasa. Memang sedikit ada perubahan arti. Tapi intinya sama. Masalah pilihan. Beberapa waktu ini aku seperti orang linglung. Pikiranku ada pada satu titik yang sengaja aku bekukan. Titik dimana ceritaku dengan mas Dahlan akan selalu bahagia. Detik dimana ia hanya buatku. Tidak menggubris yang lain-lainnya. Titik egoismeku.


“Baik. Hari ini akan aku selesaikan draftnya... Huhum. Oiya, aku nitip surat sama Mbak Ntin. Tolong dibaca.”


Dialog singkat dengan mas Dahlan. Laki-laki yang membuatku mewek-mewek. Editor muda yang cerdas. Tidak terlalu ganteng tapi menarik. Aku tidak punya kriteria khusus soal lelaki. Yang jelas, hampir setahun terakhir kulewati dengan hangat bersama mas Dahlan. Sepotong cheese cake hampir tiap akhir minggu. Dan obrolan ngawur hampir tiap malam.


Dan begitu sebuah nama muncul dalam deretan inbox lelaki muda itu, aku melayu. Seperti setangkai kembang tulip potong kehabisan air. Bayangkan saja bentuknya. Mengenaskan. Sahabat lamanya. Dan aku tahu, ada sesuatu diantara mereka.


    Walau lelah kucoba... Tuk menggapai hatimuu...
    Sgala yang ku beri tak pernah berarti, berat terasa...


Hpku berdering. Sayangnya, aku suka ringtonenya. Seurius. Hmm. Mbakyuku. Sebentar. Kutata hati dulu. Aku tahu apa yang akan Mbak Rindi tanyakan.


“Assalaamu’alaikum. Ya hallo Mbak...”


“Wa’alaikumussalam. Piye Dek? Kamu udah ditanyain terus sama ibuk. Jawabannya ditunggu secepatnya. Biar bapak nanti yang mengurus semuanya.”


Piye ya Mbak... Sebenernya aku masih bingung.”


“Sudahlah dek. Laki-laki seperti itu banyak. Kamu jangan pertahankan lagi. Ndak pantes...”


“Pantes atau ndak itu kan menurut kita to mbakyu, tapi...”


“Sudah minta penjelasan lagi?”


“Sudah capek, Mbak...”


“Tuut... Tuut...”


Terputus. Tidak ada obrolan lebih lanjut. Mbak Rindi hanya mengirim sebaris sms,


‘Pulsa habis. Nanti malam lagi aja.’


***


Selepas dzuhur aku mengharap dipilihkan yang terbaik sama Allah. Istikharah. Masih dengan doa yang sama. Jika bukan mas Dahlan, maka aku mohon dimudahkan melepaskannya.


Hp-ku berbunyi. Ada sms. Mas Dahlan.


‘Anggun yang baik, mas minta maaf kalau tidak berterus terang tentang Annisa. Sekarang  dia  sedang banyak masalah. Mas hanya sedikit membantunya bernafas. Mas harap kamu mengerti. Soal surat, mas juga bingung. Posisinya benar-benar ndak enak buat mas.’


Hmm. Aku menutup mata sebentar. Ambegan. Aku tidak menyangka doaku dikabulkan begitu cepat sama Allah. Pipi basah lagi. Payah.


Bukankan permintaan untuk berdamai dengan si Annisa ini sudah lama ku ungkapkan padanya. Tapi masih saja. Pertemuan-pertemuan dibelakangku, obrolan-obrolan santai diselingi goda dan canda, iish. Bodoh sekali jika tak paham situasinya. Dan karena mata dan hati mas Dahlan tidak bisa berbohong, aku saja yang ngalah.


Bukannya memencet tombol replay, aku malah menekan tombol back. New Messege. Mbak Rindi.


Bismillahirrohmanirrohim.


‘Mbakyu, tolong bilang sama ibuk. Aku mau sama mas Anas. InsyaAllah minggu depan aku resign. Langsung ke Malang. Maturnuwun.’


Send.


Lalu New Messege lagi. Mas Dahlan.


‘Terimakasih mas Dahlan yang baik. Iya. Aku tahu. Minggu depan aku ke Malang. Mas Dahlan sama Annisa aja. Aku tak belajar ikhlas.’


Send.


Banyak sms masuk. Tapi... Sudahlah.




***


***



‘Dek, minta maaf boleh?’


‘Sudah dimaafkan...’


‘Syukurlah...’


‘Mas?’


‘Apa?’


‘Aku dan mas Anas... Mohon doa restu boleh?’


‘...’








Nb: cerita diatas Cuma fiksi. Ngawur. Hehe.. dan Dahlan itu nama almarhum pakdhe saya. Semoga selalu disayang Allah ya, dhe... :)

6 comments:

SoleildeLamer said...

aduh... novita, ceritamu bagus :). dan, entah kenapa, cara nulismu rada2 mirip sama aku. jadi aku "cocok" deh. hehe

oryzabitha said...

hwaaaa... aku mau dong diajari nulis yg bener, hehehe. kayaknya tipe kita sama nih, wkwkwk

SoleildeLamer said...

eh ajarin...aku sendiri err... masih pemula. haha. yuuk. tapi aku suka lho sama puisi2mu. :)

Ujang Arnas said...

kayak baca novel aja nih.hhe

good :D

ROe Salampessy said...

bener kata uchank: kayak baca novel ajah nih. :)

oryzabitha said...

hwaaaaaaa...
kpanjangan yaak?!
saya g bisa bikin cerpen, jadi harap maklum yah sodara2. wkwk

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir :))