Mengertilah, tanganmu tak bisa selalu menggenggam tanganku. Maka tak perlu kau janjikan dirimu untuk selalu ada di saat aku membutuhkan. Aku sudah bilang, tak mengapa. Sama seperti sekarang ini, dimana banyak hal yang ingin sekedar kuceritakan, namun tak pernah sampai ke telingamu. Entahlah. mungkin Maros-Semarang terlalu jauh, atau kita yang sudah terlalu bosan satu sama lain.
Hari ini, saat melewati sebuah tempat makan bapak cina di sudut kota kesayanganmu itu, aku berhenti sejenak. Sengaja mengambil posisi dekat SMA Lolita agar bisa mengabadikan sebuah gambar. “Ah, sebentar saja...”, dalam hati aku bergumam sendiri. Setelah mengambil beberapa foto tempat makan itu, aku terdiam sebentar. Rasanya kaset yang pernah kita buat tiba-tiba terputar tanpa aku sadari. Aku ingat semua makanan yang biasa kamu pesankan untukku. Favoritmu, asem-asem. Sekarang jadi favoritku juga.
Aku menyalakan kembali mesin motor dan memasukkan handphoneku ke dalam tas. Ah, repot sekali pakai tas ‘ibu-ibu’ seperti ini. Aku sudah terlalu tua sampai-sampai mesti menyelaraskan juga model tasku dengan usiaku sekarang. Waktu jalan denganmu dulu, cukup dengan tas selempang yang ku gantungkan sembarangan khas anak-anak SMA. Baiklah, aku harus segera sampai di rumah karena hari mulai gelap. Haih, tidak seharusnya aku pulang sesore ini. Kasian si kecil.
Perlu waktu sepuluh menit meluncur dengan motor matic kesayanganku untuk sampai ke rumah. Semarang. Kota tempat kamu menghabiskan masa kecil, sampai tumbuh dewasa, sekaligus mengantarkanmu bertemu denganku. Kaset yang ada di kepalaku tiba-tiba memutar gambar yang lain. Ke sebuah tempat yang sangat aku kenal. Gedung B lantai tiga sebuah fakultas di UNDIP. Di sana pernah kau nyanyikan sebuah lagu untukku. Sheila on 7...
Saat perutku mulai buncit
Yakinlah ku tetap yang terseksi
Dan tetaplah kau s’lalu menanti
Nyanyianku di malam hari..
Dan sekotak permen cha-cha warna coklat itu, aku suka sekali. Selalu senyum-senyum sendiri kalau ingat kamu membeli berbungkus-bungkus banyaknya hanya untuk diambil yang warna coklatnya. Belum lagi acara membolos kuliah umum yang dipimpin Pak Habibie, tokoh kesayanganmu, hanya untuk mengantarkan aku pergi mencari kado untuk ibukku di Klaten. Terimakasih. Hari ini aku tersenyum lagi.
Sudah setengah enam sore saat aku sampai di rumah. Ah, aku lupa menjemput si kecil di rumah neneknya. Biar nanti saja, setelah maghrib aku segera kesana. “Letih sekali. Tak tahukah kamu?“, aku bergumam.
Setelah menyelesaikan tiga rekaat dan beberapa lembar surat cinta milik-Nya, aku berbenah diri untuk menjemput si kecil. Di meja sebelah tempat tidurku, aku melihat sebuah bunga. “Ah, salah lihat apa aku ya? Kog ada bunga di situ? “, batinku. Kemudian aku mengambilnya. Hmm, bunga mawar putih. Mirip dengan gaya seseorang yang aku kenal, namun tak mau aku berharap lebih. Ada sebuah memo di sampingnya. Aku tiba-tiba deg-degan.
To : uminya Nilam
Sayangku, ngasem-asem yuk?
Warung Koh Liem ba’da isya
With love : seseorang yang ingin selalu menemanimu
Aku berjalan lambat ke ruang tamu. Lalu aku mengambil sebuah benda yang sudah lama tidak aku buka. Aku melihatmu mengenakan setelan jas putih yang sangat rapi. Masih kurus, dan ganteng. Hehe, kalau gantengnya tidak akan pernah berubah. Lalu melihat foto seseorang yang ada di sampingnya. Sangat muda dalam balutan kebaya dengan warna yang sama. Keras kepala, dari dulu sampai sekarang. Hmm, serasi sekali. Sayup terdengar suara adzan isya’ dan segera aku menutup album foto pernikahan kami.
Aku mengenakan baju warna merah maroon, lengkap dengan jilbabnya. Berharap dipuji nanti. Hehe. Aku heran, kenapa tiba-tiba membuat aku bingung seperti ini. Tak ada angin tak ada hujan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku sampaikan padamu begitu nanti kita bertemu. Maros. Tempatmu bertugas sejak dua tahun yang lalu. Meninggalkan banyak mengapa dan bagaimana yang tidak bisa aku jelaskan sendiri, sampai sekarang. Pun perbagai masalah yang membuatmu seakan dua kali lebih jauh jaraknya karena komunikasi kita yang semakin tak terjalin. Dan hari ini, mawar putihmu membawaku bermotor sendirian dengan iming-iming asem-asem milik bapak cina.
Ku parkirkan motor tepat di depan warung makan itu. Aku masuk sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari kamu. Lalu pandanganku tertuju pada gadis kecil yang rencananya aku jemput sore ini. Gadisku. Dan aku melihat kamu. Suamiku. Kemudian aku tersenyum kecil. Berjalan ke arahmu sambil membawa sekarung rindu. Sangat berat melewati semua ini tanpamu, mas.
“Assalamu’alaykum...”, aku mencium tanganmu, dan kecupan di kening itu sudah lama sekali aku nanti. Rasa kangen yang menumpuk sekian lama tumpah yang tanpa kusadari juga membuat air bening mataku ikut-ikutan keluar.
“Wa’alaykumussalam... Yuk makan. Si dedek udah laper nih, nungguin uminya dari sore.”
Sekian lama tak bertemu dan kata itu yang kamu ucapkan. Tak apalah. Kamu ada di depanku, bersama si kecil kesayangan kita. Hari ini seperti mimpi, indah sekali. Setelah beberapa saat bercerita tentang keadaan masing-masing, aku mengambil handphone yang ada di tasku. “Lihat deh mas, tadi sore aku mampir ke sini. Ingat kamu. Jahat sekali, hampir saja aku makan asem-asem sendirian”, kataku sambil mencep padamu.
Kamu menghela napas panjang. Sengaja melihat keluar ke arah jalan. Lalu tiba-tiba kamu menggenggam tanganku. Meskipun mata kita bertemu untuk yang kesekian kalinya, aku tahu kali ini kamu lebih serius dari yang tadi. “Aku minta maaf karena meninggalkan kamu dan Nilam sendirian. Jika bukan karena ingin melihat kita lebih bahagia suatu hari nanti, aku tidak akan mau melakukannya. Dan hari ini, aku benar-benar ingin makan asem-asem sama kamu.” Haiih, jadi alasan kamu pulang hanya untuk asem asem ya... Dasar suamiku.
Lalu kamu mengambil sesuatu dati tasmu. Sebuah kotak. Sekotak permen cha-cha. Coklat. Lalu aku mengambilnya. “Do you want to say something?”, tanyaku.
“Of course. This is your birth day...”
“Aku sayang kamu... istriku...”
Aku mengenakan baju warna merah maroon, lengkap dengan jilbabnya. Berharap dipuji nanti. Hehe. Aku heran, kenapa tiba-tiba membuat aku bingung seperti ini. Tak ada angin tak ada hujan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku sampaikan padamu begitu nanti kita bertemu. Maros. Tempatmu bertugas sejak dua tahun yang lalu. Meninggalkan banyak mengapa dan bagaimana yang tidak bisa aku jelaskan sendiri, sampai sekarang. Pun perbagai masalah yang membuatmu seakan dua kali lebih jauh jaraknya karena komunikasi kita yang semakin tak terjalin. Dan hari ini, mawar putihmu membawaku bermotor sendirian dengan iming-iming asem-asem milik bapak cina.
Ku parkirkan motor tepat di depan warung makan itu. Aku masuk sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari kamu. Lalu pandanganku tertuju pada gadis kecil yang rencananya aku jemput sore ini. Gadisku. Dan aku melihat kamu. Suamiku. Kemudian aku tersenyum kecil. Berjalan ke arahmu sambil membawa sekarung rindu. Sangat berat melewati semua ini tanpamu, mas.
“Assalamu’alaykum...”, aku mencium tanganmu, dan kecupan di kening itu sudah lama sekali aku nanti. Rasa kangen yang menumpuk sekian lama tumpah yang tanpa kusadari juga membuat air bening mataku ikut-ikutan keluar.
“Wa’alaykumussalam... Yuk makan. Si dedek udah laper nih, nungguin uminya dari sore.”
Sekian lama tak bertemu dan kata itu yang kamu ucapkan. Tak apalah. Kamu ada di depanku, bersama si kecil kesayangan kita. Hari ini seperti mimpi, indah sekali. Setelah beberapa saat bercerita tentang keadaan masing-masing, aku mengambil handphone yang ada di tasku. “Lihat deh mas, tadi sore aku mampir ke sini. Ingat kamu. Jahat sekali, hampir saja aku makan asem-asem sendirian”, kataku sambil mencep padamu.
Kamu menghela napas panjang. Sengaja melihat keluar ke arah jalan. Lalu tiba-tiba kamu menggenggam tanganku. Meskipun mata kita bertemu untuk yang kesekian kalinya, aku tahu kali ini kamu lebih serius dari yang tadi. “Aku minta maaf karena meninggalkan kamu dan Nilam sendirian. Jika bukan karena ingin melihat kita lebih bahagia suatu hari nanti, aku tidak akan mau melakukannya. Dan hari ini, aku benar-benar ingin makan asem-asem sama kamu.” Haiih, jadi alasan kamu pulang hanya untuk asem asem ya... Dasar suamiku.
Lalu kamu mengambil sesuatu dati tasmu. Sebuah kotak. Sekotak permen cha-cha. Coklat. Lalu aku mengambilnya. “Do you want to say something?”, tanyaku.
“Of course. This is your birth day...”
“Aku sayang kamu... istriku...”
0 comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah mampir :))