segala yang ku bentuk sendiri ini
aku kembalikan
masalah yang seharusnya diselesaikan
tiba-tiba menguap lalu garing begitu saja
segala yang aku bentuk sendiri ini
aku kembalikan
tertawalah jika bodoh adalah aku
biasalah
segala yang ku bentuk sendiri ini
aku kembalikan
dewasalah dan berfikir ini semua dilabeli titipan
kasihan dan cari perhatian bisa sama dari sudut pandang yang berbeda
hampir bosan
siapa mencurangi siapa sudah tidak penting
segala yang aku bentuk sendiri ini aku kembalikan
Aku Kembalikan
Kangen Bapak
Mimpi Aneh
Saya pengen nulis banyak hal malam ini.
*dengan 2 kuesioner yang seharusnya mendapatkan hak dianalisis secepatnya.
Huhuhu...
Hari yang melelahkan.
Yah, setidaknya sesi empat yang berakhir mepet-mepet adzan maghrib toh g membuat saya mengkeret ikut senam. hobi baru saya nih. Aerobik. Huha huha. Berangkat jam setengah tujuh ternyata g sia-sia, dapet tempat agak di depan. Kalo di belakang suka g keliatan, belum afal gerakannya. Lumayanlah, malem ini saya banyak berkeringat. Semoga lemak-lemak yang berdesakan di bawah kulit saya juga ngerti kalo ini waktunya mereka pergi sedikit demi sedikit. Ah. Tembem kamu Nob. :p
Sebenarnya yang pengen saya ceritain bukan masalah senam. tadi siang sodara sepupu saya tiba-tiba telepon. "Mbak Ita apa kabarnya?" Dan menurut saya itu sangat wajar. "Baik, alhamdulillah. Ika gimana? Sehat juga kan?" otomatis dong respon ini yang saya berikan.. "Alhamdulillah baik juga. Mbak Ita beneran g ada masalah apa-apa?" lah. Ini pertanyaan yang membuat saya curiga. "He? Emang ada apa, Ka? Ini baru mau berangkat kuliah. Emangnya kenapa sii?" saya spontan saja menanyakan hal ini. Tumben ada yang ganjil dari pertanyaan Ika tadi. "Oh, enggak. tadi malem mas Arul mimpi mbak Ita lagi nangis. Makanya Ika khawatir, trus nelpon" "Ehehe.. kan cuma mimpi. Alhamdulillah baik kog. G kenapa-kenapa..."
Wah-wah... Aneh juga. Yang mimpiin mas Arul pula, suaminya Ika. Ada-ada aja. Hmm... Padahal saya g cerita ke siapa-siapa lho kalo lagi sedih, upss, wkwk.
Oia, saya berusaha menganggap ini sewajar mungkin. Kita bisa dimimpikan oleh siapapun dan dengan keadaan yang bagaimanapun. Kalau kebetulan di mimpinya mas Arul saya lagi nangis, beberapa hari yang lalu malah saya mimpi yang nyenengin banget.
Saya ada di tengah hutan lebat dengan satu macam pohon. G tahu pohon apa, yang jelas buahnya banyaaaak banget. Apa apel ya? Eh.. Mangga mungkin. Kalo g ya jambu. Lalu saya loncat-loncat metikin buah itu tadi. Seneng banget pokoknya.
Hehehe..
Nah lo, mimpi bisa apa saja dan terserah kita juga mau mengartikan seperti apa.
Hari ini ada yang kembali dari diri saya yang sempat hilang beberapa waktu yang lalu. Setidaknya saya berani bertanggung jawab pada pilihan saya. Ya, semoga tempat yang saya pilih ini benar-benar pilihan Dia juga untuk saya. Akhirnya setelah menunggu dua tahun, ada ruang bernafas juga yang melebihi apa yang saya bayangkan. ^^
Grow a Day Older
Pekerja Anak-anak : Kondisi Pekerja Anak-anak (Bagian 1)
Mata Kuliah Pengantar Studi Kependudukan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Oleh : Bp Hardius Usman
Keadaan perekonomian negara memang mempunyai pengaruh terhadap munculnya pekerja anak-anak. Tetapi bukan berarti persoalan pekerja anak hanya ada di negara-negara berkembang saja, seperti Indonesia, melainkan juga negara maju. Unicef (1997) menyebutkan bahwa pekerja anak-anak merupakan fenomena global yang dapat ditemui baik di negara berkembang seperti : Tanzania, Maroko, Portugal, Indonesia, dan Filipina, maupun di negara maju, seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Sedang Irwanto et al (1994) mengatakan di negara maju pun terdapat pekerja anak-anak, walau sifat dan jenis pekerjaannya berbeda. Keberadaan pekerja anak di negara maju juga dikatakan Bellamy (1997), tapi dengan menunjukkan adanya perbedaan tujuan anak-anak bekerja. Dimana di negara maju, anak-anak sering kali bekerja untuk uang saku, sedangkan di negara-negara berkembang untuk membantu perhasilan keluarga.
Thapa, Chetry dan Aryal (1996) mengatakan bahwa di banyak negara barat anak-anak mendapat bayaran untuk pekerjaannya, dan didorong oleh orang tuanya untuk bekerja selama liburan sekolah sebagai cara untuk membuat anak-anak mandiri dan menghargai pekerjaan dan waktu. Sedang di negara berkembang, pekerjaan ditempatkan sebagai sumber pendapatan keluarga, sebagai pengganti sekolah atau belajar.
Perbedaan yang dikemukakan Irwanto (1994), Bellamy (1997), dan Thapa et al(1996) di atas, merupakan hal yang mendasari permasalahan pekerja anak-anak di negara berkembang lebih mencuat ke permukaaan. Di negara-negara berkembang, umumnya pekerja anak kurang mendapat perlindungan, sehingga sangat rentan untuk dieksploitasi, dan dipekerjakan di lingkungan yang berbahaya.
Sampai saat ini permasalahan pekerja anak-anak, bukan tentang pekerja anak-anak itu sendiri melainkan terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak atau menempatkan anak-anak di lingkungan pekerjaan berbahaya.oleh karena itu, permasalahan tersebut menjadi prioritas ILO untuk menghapuskannya. Pada tahun 1996, ILO mengajukan pembahasan suatu konvensi mengenai pekerja anak-anak di lingkungan yang membahayakan atau penghapusan sbagian besar bentuk kerja anak yang tidak dapat ditolerir (Bellamy, 1997).
Unicef telah menetapkan beberapa kriteria pekerja anak-anak yang eksploitatif, yaitu bila menyangkut :
> Kerja penuh waktu (full time) pada umur yang terlalu dini
> Terlalu bayak waktu yang digunakan untuk bekerja
> Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis yang tak patut terjadi
> Upah yang tidak mencukupi
> Tanggung jawab yang terlalu banyak
> Pekerjaan yang menghambat akses pada pendidikan
> Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, seperti : perbudakan atau
pekerja kontrak paksa dan eksploitasi sosial
> Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan psikologis yang penuh
Melihat kriteria tersebut, ternyata di Indonesia masih banyak anak-anak yang diperkalukan demikian. Anak-anak yang bekerja di jermal merupakan salah satu contoh. Joni (1999) menggambarkan bahwa jermal merupakan unit bangunan penangkapan ikan, dibangun di tengah perairan Selat Malaka, berada di sepanjang pantai timur Sumatera Utara. Letaknya tidak kurang sekitar 6-8 mil dari pantai, dan secara geografis terisolir dari komunitas, komunikasi, dan nyaris tanpa transportasi.
Tidur
Hp, Protes, Mines
***
Pekerja Anak-anak : Kebijakan Pemerintah (Bagian 2)
Mata Kuliah Pengantar Studi Kependudukan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Oleh : Bp Hardius Usman
Dari sisi perundang-undangan yang dimiliki Indonesia, terlihat masih belum bisanya Indonesia bersikap tegas melarang anak-anak bekerja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah merupakan penyebab begitu dibutuhkannya tenaga anak-anak untuk memperoleh pendapatan sendiri, atau membantu perolehan pendapatan. Pengalaman dalam banyak kasus yang ditemukan oleh Direktorat Pengawasan Norma Kerja, pengusaha akan mematuhi bila harus mengeluarkan anak dibawah umur dari tempatnya bekerja. Namun hambatan datang justru dari pihak orang tua dan lingkungan yang menolak keputusan tersebut, dan sebaliknya menyerang pihak yang mengadvokasi persoalan ini, seperti LSM, dan lain-lain (Sunarno dan Jahja, 2000).
Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, pernah pula menggunakan pendekatan law enforcement untuk menertibkan pekerja anak di sektor informal, terutama anak-anak jalanan, dengan berpegang pada Perda nomor 11 tahun 1988 tentang ketertiban umum di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur KDKI Jakarta No. 1738 tahun 1993 tentang pembentukan Tim Satuan Tugas Pembinaan dan Pengendalian Pedagang Asongan di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur No. 238 tahun 1988 tentang Pelaksanaan Operasi Penertiban dan Pembinaan terhadap Gelandangan, Pengemis, Pedagang Asongan, dan Pengamen Bis Kota. Hasilnya, hingga detik ini Pemda DKI tidak juga mampu menghapuskan pekerja anak pada kategori tersebut. Bahkan, pendekatan law enforcement tersebut justru hanya mempersulit dan merugikan pekerja anak itu sendiri. Sebab dengan pemberlakuan peraturan tersebut, otomatis kegiatan pekerja anak-anak ini menjadi ilegal sehingga dimana-mana terjadi pengusiran dan penyitaan barang.
Konsekuensi logis bagi pedagang asonganyang ditertibkan dan barang dagangannya yang disita adalah hilangnya pekerjaan dan medan kerja. Padahal anah-anak tersebut membutuhkan penghasilan, baik untuk membantu orang tua atau untuk hidupnya sendiri. Apa yang dilakukan Pemda DKI ini sesungguhnya membuka peluang bagi anak-anak untuk menjalankan pekerjaan yang lebih buruk atau bahkan melakukan pekerjaan kriminal.
Beberapa penelitian (Asra, 1995; Bellamy, 1997; Imawan, 1999) mengungkapkan bahwa mereka yang termiskin dan terbelakang memasok sebagian besar pekerja anak. Dengan demikian, selama pemerintah belum mampu mengentaskan kemiskinan, sangatlah ironis bila menggunakan pendekatan hukum untuk menghapus pekerja anak-anak.
Selain menyediakan pranata hukum, langkah lain yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pekerja anak-anak adalah melaksanakan Program Wajib Belajar 9 tahun. Pada tahun 1984, pemerintah mencanangkan wajib belajar 6 tahun. Atas dasar keberhasilan yang dicapai program tersebut, disamping tekad mengembangkan sumber daya manusia dalam PJP II, pemerintah pada tahun 1994 mencanangkan program Wajib Belajar 9 tahun. Berbagai negara mengakui bahwa Progra Wajib Belajar merupakan perangkat kebijakan yang efektif untuk mengurangi anak-anak bekerja. Sekalipun demikian (Sumantri, 1996) mengatakan bahwa istilah wajib belajar sebenarnya tidak cocok dengan maksud kebijakannya sendiri. Kebijakan ini rupanya lebih berpengaruh pada tekad pemerintah untuk membuat semua anak Indonesai usia 7-15 tahun dapat memperoleh kesempatan belajar selama 9 tahun. Jadi sesungguhnya ini lebih merupakan suatu tawaran bukan kewajiban. Kewajiban niscaya melibaykan sanksi, dalam hal kebijakan ini tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak bersekolah atauberhenti bersekolah pada usia tersebut. Lebih lanjut (Sumantri, 1996) menyatakan bahwa meskipun pendidikan dibebeaskan, pelaksanaan Wajib Belajar tetap membebankan biaya pada orang tua keluarga miskin termasuk opportunity cost.
Mengingat kemiskiman merupakan faktor uutama yang mendorong munculnya pekerja anak-anak, maka program pengentasan kemiskinan melalui Program Instruksi Presiden tentang Daerah Tertinggal (IDT), dapat pula dimasukkan sebagai suatu kebijakan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan anak-anak yang bekerja. Program ini merupakan upaya sistematis untuk mendorong keluarga miskin di desa-desa tertinggal untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan produktif melalui penyediaan modal kerja sebesar 20 juta rupiah ;per tahun selama tiga tahun berturut-turut, disamping juga memobilisasi dana untuk keluarga miskin yang tinggal di desa yang tidak tergolong tertinggal.
Berkaitan dengan pencegahan anak-anak bekerja, Sumantri mempunyai catatan tentang program tersebut dimana dikatakan bahwa pemberantasan kemiskinan merupakan upaya yang sangat penting dalam jangka panjang untuk menanggulangi masalah pekerja anak-anak. Namun dalam jangka pendek upaya tersebut sangat mungkin justru akan menambah beban anak. Upaya pengembangan kegiatan produktif bagi kalangan keluarga miskin boleh jadi memberi beban tambahan pada anak yang sebenarnya juga sudah bekerja membantu keluarga. Suatu penelitian yang disponsori ILO/IPEC menunjukkan bahwa hal ini sama sekali tidak dijadikan pertimbangan dalam perencanaan dalam pelaksanaan program IDT.
Disamping itu, Irwanto (1999) menyebutkan bahwa adanya kecenderungan dimana industri manufaktur mulai melibatkan runah tangga dalam sistem kontrak informal yang dikenal sebagai “sistem sub kontraktor”. Hal ini didasarkan pada penelitian Nachrowi et al (1996) dan Pardoen et al (1996) yang menunjukkan bahwa anak-anak segala usia terlibat dalam sistem berikut. Berkaitan dengan bantuan IDT bagi keluarga miskin, maka akan terbuka kemungkinan anak-anak justru akan mendapatkan pekerjaan yang lebih berat.
Pekerja Anak-anak : Kebijakan Pemerintah (Bagian 1)
Mata Kuliah Pengantar Studi Kependudukan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Oleh : Bp Hardius Usman
Keberadaan pekerja anak, terutama di negara-negara berkembang telah lama menjadi sorotan dunia internasional. Keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh negara-neegara berkembang, termasuk Indonesia, dengan membayar upah buruh termurah, termasuk mempekerjakan anak-anak, banyak mendapat kritikan dari negara maju (Nachrowi et al, 1997). Dibalik kritikan tersebut, banyak orang berpendapat bahwa isu pekerja anak telah dipergunakan oleh negara-negara yang lebih maju secara ekonomis sekedar sebagai alat politik untuk menekan negara-negara berkembang secara tidak adil (Mboi dan Irwanto, 1998).
Apapun yang ada dibalik isu pekerja anak-anak, adalah suatu kenyataan bahwa pembenahan terhadap pekerja anak-anak merupakan sebuah kebutuhan, khususnya bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Nachrowi (1997) bahwa era ekonomi global mulai mengubah sistem perdagangan internasional. Negara-negara maju mulai memperhatikan kesejahteraan dan kehidupan buruh. Pada masa sebelumnya, melimpahnya sumber daya, murahnya upah buruh, dan pemakaian buruh anak di sektor industri mungkin menjadi daya tarik investor. Akan tetapi dalam era akonomi global, keunggulan tersebut tidak lagi dapat diandalkan. Pengalaman menunjukkan bahwa negara-negara tujuan impor sudah memasukkan konsep social dumping atau social closed dalam traktat-traktat perjanjian ekonomi. pemakaian buruh murah dan pekerja anak menjadi “haram” dalam ketenagakerjaan. Dari kenyataan tersebut dapat terlihat betapa besarnya sorotan terhadap pekerja anak-anak yang harus dilalakukan oleh negara-negara tujuan impor. Oleh karena itu, pembenahan kondisi pekerja anak-anak harus mendapat perhatian penuh pemerintah, dan perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan.
Masalah pekerja anak-anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi yang melarang anak dibawah usia 12 tahun untuk bekerja pada tanggal 17 Desember 1925. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara No : 8/1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-Undang No. 1/1951 yang memberlakukan Undang-Undang No. 12/1948 di seluruh Indonessia, yang melarang anak-anak (14 tahun ke bawah) menjalankan pekerjaan macam apapun dan di perusahaan apapun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan anak oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.
Pada tahun 1987, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja No.1/1987 tenteng perlindungan anak bagi yang terpaksa bekerja. Anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur 14 tahun ke bawah. Namun dalam ketentuan lainnya ditetapkan batasan jam kerja, upah, dan wilayah pekerjaan yang dilarang mempekerjakan anak-anak, seperti : di dalam tambang, kapal, pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi berbahaya, dan sebagainya.
Indonesia tercatat merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi PBB tentang hak Anak-anak, melalui Keputusan Presiden No.36 tanggal 25 Agustus 1990. Dan menunjuk Kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) sebagai focal point implementasi di Indonesia. Diraatifikasinya konvensi tersebut berarti pemerintah Indonesia secara hukum berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak sesuai yang diatur dalam konvensi, baik hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang keternagakerjaan, yang diharapkan dapat menggantikan UU No. 1/1951, dan Peraturan Menteri No.1/1987. Akan tetapi pada kenyataannya UU tersebut dinilai beberapa kalangan memuat kontroversi sehubungan dengan pekerja anak-anak. Dalam pasal 95 ayat 1 khusus ditentukan mengenai larangan bagi anak untuk bekerja, tetapi pada pasal 96 ayat 1 disebutkan : “larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 tidak berlaku bagi anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja”.
Pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan surat edaran menaker RI NO. SE-12/M/BW/1997 tentang petunjuk pelaksanaan penanganan anak yang bekerja. Surat edaran ini telah memperhatikan secara rinci “faktor-faktor yang terdapat dalam sistem kerja”, termasuk di dalamnya memperhatikan faktor lingkungan alam yang dapar mengancam keselamatan dan kesehatan bagi anak selama pergi ke tempat kerja dan pulang dari tempat kerja (Sunarno dan Jahja, 2000).
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. SE-12/M/BW/1997 di dalamnya antara lain memuat peraturan mengenai tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak-anak, yaitu :
1.Mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pertambangan dan penggalian
2.Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan api (termasuk pengelasan)
3.Segala jenis pekerjaan yang mengharuskan menyelam ke dalam laut
4.Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan peralatan berat, listrik, dan alat potong
5.Mengangkat dan membawa barang-barang berat
6.Pekerjaan konstruksi dan penghancuran (dekonstruksi)
7.Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan bahan-bahan kimia/ substansi berbahaya
8.Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan pelacuran dan pornografi
9.Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan produksi dan penjualan minuman keras
Di samping itu, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. SE-12/M/BW/1997 juga memberi petunjuk mengenai tempat tempat yang tidak boleh menggunakan tenaha anak-anak yaitu :
1.Pertambangan (baik di permukaan maupun di dalam tanah)
2.Jermal dan kapal
3.Perusahaan-perusahaan yang mengoperasikan fasilitas pelebuuran logam
4.Industri tekstil
5.Perusahaan yang menggunakan bahan kimia berbahaya untuk produk-produknya
6.Gudang pembekuan
7.Industri hiburan dan seks komersial
Dari penjabaran tersebut terlihat bahwa Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. SE-12/M/BW/1997 lebih ditujukan untuk melindungi pekerja anak-anak daaripada melarang anak-anak untuk bekerja. Untuk saat sekarang, dimana pemerintah belum mampu untuk menghapuskan pekerja anak-anak, perangkat hukum seperti ini sangat dibutuhkan. Sebagaimana dikatakan Irwanto (1998), surat edaran tersebut akan mampu memberikan cukup wewenang bagi para pengawas untuk mencegah terjadinya eksploitasi anak-anak.
Konvensi ILO 1973/138/artikel 3/ paragraf 1 akhirnya diratifikasi ke dalam UU No.20 Tahun 1999. Melalui UU ini ditetapkan batasan umur minimal anak untuk bekerja adalah 15 tahun. Konvensi ini tentunya tidak konsisten dengan UU No. 25 Tahun 1997 yang kini berlaku di Indonesia.
Undang-undang lain yang masih berhubungan dengan pekerja anak-anak adalah UU No. 4 taun 1979tentang kesejahteraan anak. Dalam UU itu disebutkan bahwa pengertian kesejahteraan anak sebegai suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohaniah, jasmani, maupun sosial. Di samping itu, juga ada UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, dimana makna kesehatan dijabarkan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soaial dan ekonomis. Secara khusus, UU kesehatan ini juga mengatur kesehatan di tempat kerja. Tempat kerja yang wajib menyelenggarakan kesehatan kerja adalah tempat yang mempunyai resiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit, atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang (Pasal 23 ayat 3).
Perahu Kertasku, Titip Salam Buat Dia
3 SK 1
Tadi pagi saya bangun cepat. G ada feeling apa-apa tentang pembagian jurusan hari ini.
Hadeeeh... Keputusan ada di tangan Allah Subhanahuwata'ala, via kampus saya tentunya. Apakah akan masuk ke jurusan yang saya pengeni atau "kejeblos" di jurusan lain yang teman-teman saya istilahkan.
Waktu pembagian IP semester 3 dan 4 kemarin, saya milih SK alias Statistika Kependudukan sebagai jurusan saya selanjutnya. Tapi desas-desus yang berhembus menyebutkan peminat jurusan Statistik Ekonomi hanya 2 kelas dari 7 kelas yang ada. dan ternyata oh ternyata, kampus saya tercinta memutuskan ada 4 kelas SE yang otomatis hanya ada 3 kelas SK. Hwa hwa hwa... apa-apaan iniii.. Bisa-bisa saya kejeblos beneran di SE. --"
Oke. Hari ini setelah apel pagi yang sudah siang, pengumuman akhirnya muncul juga. Satu-persatu nama disebutkan mulai dari penghuni kelas 3 SE 1, urut sampai 3 KS 2. Setelah saya perhatikan dengan seksama, nama saya tidak muncul di daftar kelas ekonomi.
Huaaa.. Saya lega sekali. Alhamdulillah. G mungkin juga dong saya masuk ke komputasi. :D
Saya belum punya bayangan kalau harus masuk ke ekonomi. Ngomongin masalah uang, neraca, inflasi, gitu lah. Tiba nama saya disebut, 3 SK 1, hmmm.. Asiiiiiiiik ^^
Baiklah Nob, dengan kacamata mines setengah penuh cinta dari ibuk, berjuanglaah!!!
PKL di tingkat 3.
Skripsi di tingkat 4.
Cepetan lulus dan.. hmmm... hehehe... WISUDA ^^
Okelah, menikah. wkwk
Doa Buatmu
ijinkan aku mensyukuri hari ini, buatmu
karena Dia mempertemukan kita dalam ukhuwah yang indah
dalam lingkaran kecil yang kau beri sedikit nyawa ini
bagaimana tidak?
jika yang kita bagi untuk satu sama lain adalah senyum dan canda
Sementara kesedihan akan sedikit meleleh dihangatkan tiap kata yang menyentuhnya
gerimis di pagi ini, adalah hadiah tambahan dari Allah Subhanahuwata'ala
buatmu
menit-menit yang terlewati untuk menantikan kedatangan kami, semoga Dia ganti dengan masa-masa indah di waktu nanti
hari-hari yang berlalu untuk mengingatkan kami pada-Nya, semoga Dia ganti dengan kebahagiaan yang berlipat ganda
dan pulsa yang terpakai untuk sekedar menyapa kami itu, ikhlas yaaa ^^
yang meskipun tak berarti nilainya, setidaknya pernah ada
congratulations mbak Erya, mbak mentor paling baik sedunia
Wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Angkatan 48, hari ini ^^
G Bisa Tidur (lagi)
Saya g mau telat lagi hari ini.
Atau lebih parahnya lupa kalau ini hari Jum'at.
Hadeeeeeh... --"
Udah g masuk tiga kali.
Kira-kira masih boleh ikut ujian g yaa??
Malem-malem gini curhat ya mbak? Xixixi..
Hiaaapp!!
Saya g mau telat berangkat ke Utsmani lagi hari ini. Sudah cukup kemalasan saya minggu kemarin. Bangun kesiangan dan sama sekali lupa dengan jadwal rutin mingguan di Jum'at fajar.
Tadi malam sengaja tiga alarm dengan bunyi berbeda saya set di handphone. Maklum lah. Udah g berasa di alarm kalo cuma satu kali.
Ealaah. Malah terbangun jam dua pagi dan g bisa tidur lagi. Buat nunggu fajar, ya udah saya blogging aja.
Maaf kalau postingan saya akhir-akhir ini penuh emosi. Hehe.. Udah kayak remaja labil aja. =D
Banyak yang bikin darah tinggi soalnya. Tapi untung senengnya lebih banyak. ^^
Di depan saya ada selembar kertas yang tiba-tiba saya tulis begitu saya bangun tadi. Kira-kira begini bunyinya,
1. ngambil uang di ATM, bayar Utsmani (harusnya udah bulan kemarin)
2. berangkat jam 5.20 (takut pas naek bisnya, smangat!!)
3. nulis arab sebanyak-banyaknya n g usah fb-an pas di Utsmani
4. g boleh makan daging ayam utuh (upaya penghematan sekaligus d*et. ups, saya
g d*et lhoo..)
5. minum air putih yg banyak, jangan lupa minum obat (pileknya yang g sembuh2
nih --")
6. ngecilin seragam, senin udah masuk
7. baca buku islami (belajarbelajar ^^)
8. hemathemathemat --> mudah-mudahan dinner di mie golek nanti g menghabiskan
banyak dana (Eka sama Nova jangan nyuruh pesen yang harganya mahal,
awas yaa..)
Ah. G jelas. Biarin lah.