Mata Kuliah Pengantar Studi Kependudukan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Oleh : Bp Hardius Usman
Keberadaan pekerja anak, terutama di negara-negara berkembang telah lama menjadi sorotan dunia internasional. Keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh negara-neegara berkembang, termasuk Indonesia, dengan membayar upah buruh termurah, termasuk mempekerjakan anak-anak, banyak mendapat kritikan dari negara maju (Nachrowi et al, 1997). Dibalik kritikan tersebut, banyak orang berpendapat bahwa isu pekerja anak telah dipergunakan oleh negara-negara yang lebih maju secara ekonomis sekedar sebagai alat politik untuk menekan negara-negara berkembang secara tidak adil (Mboi dan Irwanto, 1998).
Apapun yang ada dibalik isu pekerja anak-anak, adalah suatu kenyataan bahwa pembenahan terhadap pekerja anak-anak merupakan sebuah kebutuhan, khususnya bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Nachrowi (1997) bahwa era ekonomi global mulai mengubah sistem perdagangan internasional. Negara-negara maju mulai memperhatikan kesejahteraan dan kehidupan buruh. Pada masa sebelumnya, melimpahnya sumber daya, murahnya upah buruh, dan pemakaian buruh anak di sektor industri mungkin menjadi daya tarik investor. Akan tetapi dalam era akonomi global, keunggulan tersebut tidak lagi dapat diandalkan. Pengalaman menunjukkan bahwa negara-negara tujuan impor sudah memasukkan konsep social dumping atau social closed dalam traktat-traktat perjanjian ekonomi. pemakaian buruh murah dan pekerja anak menjadi “haram” dalam ketenagakerjaan. Dari kenyataan tersebut dapat terlihat betapa besarnya sorotan terhadap pekerja anak-anak yang harus dilalakukan oleh negara-negara tujuan impor. Oleh karena itu, pembenahan kondisi pekerja anak-anak harus mendapat perhatian penuh pemerintah, dan perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan.
Masalah pekerja anak-anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi yang melarang anak dibawah usia 12 tahun untuk bekerja pada tanggal 17 Desember 1925. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara No : 8/1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-Undang No. 1/1951 yang memberlakukan Undang-Undang No. 12/1948 di seluruh Indonessia, yang melarang anak-anak (14 tahun ke bawah) menjalankan pekerjaan macam apapun dan di perusahaan apapun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan anak oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.
Pada tahun 1987, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja No.1/1987 tenteng perlindungan anak bagi yang terpaksa bekerja. Anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur 14 tahun ke bawah. Namun dalam ketentuan lainnya ditetapkan batasan jam kerja, upah, dan wilayah pekerjaan yang dilarang mempekerjakan anak-anak, seperti : di dalam tambang, kapal, pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi berbahaya, dan sebagainya.
Indonesia tercatat merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi PBB tentang hak Anak-anak, melalui Keputusan Presiden No.36 tanggal 25 Agustus 1990. Dan menunjuk Kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) sebagai focal point implementasi di Indonesia. Diraatifikasinya konvensi tersebut berarti pemerintah Indonesia secara hukum berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak sesuai yang diatur dalam konvensi, baik hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang keternagakerjaan, yang diharapkan dapat menggantikan UU No. 1/1951, dan Peraturan Menteri No.1/1987. Akan tetapi pada kenyataannya UU tersebut dinilai beberapa kalangan memuat kontroversi sehubungan dengan pekerja anak-anak. Dalam pasal 95 ayat 1 khusus ditentukan mengenai larangan bagi anak untuk bekerja, tetapi pada pasal 96 ayat 1 disebutkan : “larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 tidak berlaku bagi anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja”.
Pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan surat edaran menaker RI NO. SE-12/M/BW/1997 tentang petunjuk pelaksanaan penanganan anak yang bekerja. Surat edaran ini telah memperhatikan secara rinci “faktor-faktor yang terdapat dalam sistem kerja”, termasuk di dalamnya memperhatikan faktor lingkungan alam yang dapar mengancam keselamatan dan kesehatan bagi anak selama pergi ke tempat kerja dan pulang dari tempat kerja (Sunarno dan Jahja, 2000).
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. SE-12/M/BW/1997 di dalamnya antara lain memuat peraturan mengenai tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak-anak, yaitu :
1.Mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pertambangan dan penggalian
2.Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan api (termasuk pengelasan)
3.Segala jenis pekerjaan yang mengharuskan menyelam ke dalam laut
4.Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan peralatan berat, listrik, dan alat potong
5.Mengangkat dan membawa barang-barang berat
6.Pekerjaan konstruksi dan penghancuran (dekonstruksi)
7.Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan bahan-bahan kimia/ substansi berbahaya
8.Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan pelacuran dan pornografi
9.Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan produksi dan penjualan minuman keras
Di samping itu, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. SE-12/M/BW/1997 juga memberi petunjuk mengenai tempat tempat yang tidak boleh menggunakan tenaha anak-anak yaitu :
1.Pertambangan (baik di permukaan maupun di dalam tanah)
2.Jermal dan kapal
3.Perusahaan-perusahaan yang mengoperasikan fasilitas pelebuuran logam
4.Industri tekstil
5.Perusahaan yang menggunakan bahan kimia berbahaya untuk produk-produknya
6.Gudang pembekuan
7.Industri hiburan dan seks komersial
Dari penjabaran tersebut terlihat bahwa Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. SE-12/M/BW/1997 lebih ditujukan untuk melindungi pekerja anak-anak daaripada melarang anak-anak untuk bekerja. Untuk saat sekarang, dimana pemerintah belum mampu untuk menghapuskan pekerja anak-anak, perangkat hukum seperti ini sangat dibutuhkan. Sebagaimana dikatakan Irwanto (1998), surat edaran tersebut akan mampu memberikan cukup wewenang bagi para pengawas untuk mencegah terjadinya eksploitasi anak-anak.
Konvensi ILO 1973/138/artikel 3/ paragraf 1 akhirnya diratifikasi ke dalam UU No.20 Tahun 1999. Melalui UU ini ditetapkan batasan umur minimal anak untuk bekerja adalah 15 tahun. Konvensi ini tentunya tidak konsisten dengan UU No. 25 Tahun 1997 yang kini berlaku di Indonesia.
Undang-undang lain yang masih berhubungan dengan pekerja anak-anak adalah UU No. 4 taun 1979tentang kesejahteraan anak. Dalam UU itu disebutkan bahwa pengertian kesejahteraan anak sebegai suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohaniah, jasmani, maupun sosial. Di samping itu, juga ada UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, dimana makna kesehatan dijabarkan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soaial dan ekonomis. Secara khusus, UU kesehatan ini juga mengatur kesehatan di tempat kerja. Tempat kerja yang wajib menyelenggarakan kesehatan kerja adalah tempat yang mempunyai resiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit, atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang (Pasal 23 ayat 3).
1 comments:
kalo surat edaran menteri mengatakan begitu, berarti status pengamen n gelandangan LEGAL dong ya?????
Post a Comment
Terimakasih sudah mampir :))