Pekerja Anak-anak : Kebijakan Pemerintah (Bagian 2)

Mata Kuliah Pengantar Studi Kependudukan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Oleh : Bp Hardius Usman

Dari sisi perundang-undangan yang dimiliki Indonesia, terlihat masih belum bisanya Indonesia bersikap tegas melarang anak-anak bekerja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah merupakan penyebab begitu dibutuhkannya tenaga anak-anak untuk memperoleh pendapatan sendiri, atau membantu perolehan pendapatan. Pengalaman dalam banyak kasus yang ditemukan oleh Direktorat Pengawasan Norma Kerja, pengusaha akan mematuhi bila harus mengeluarkan anak dibawah umur dari tempatnya bekerja. Namun hambatan datang justru dari pihak orang tua dan lingkungan yang menolak keputusan tersebut, dan sebaliknya menyerang pihak yang mengadvokasi persoalan ini, seperti LSM, dan lain-lain (Sunarno dan Jahja, 2000).

Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, pernah pula menggunakan pendekatan law enforcement untuk menertibkan pekerja anak di sektor informal, terutama anak-anak jalanan, dengan berpegang pada Perda nomor 11 tahun 1988 tentang ketertiban umum di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur KDKI Jakarta No. 1738 tahun 1993 tentang pembentukan Tim Satuan Tugas Pembinaan dan Pengendalian Pedagang Asongan di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur No. 238 tahun 1988 tentang Pelaksanaan Operasi Penertiban dan Pembinaan terhadap Gelandangan, Pengemis, Pedagang Asongan, dan Pengamen Bis Kota. Hasilnya, hingga detik ini Pemda DKI tidak juga mampu menghapuskan pekerja anak pada kategori tersebut. Bahkan, pendekatan law enforcement tersebut justru hanya mempersulit dan merugikan pekerja anak itu sendiri. Sebab dengan pemberlakuan peraturan tersebut, otomatis kegiatan pekerja anak-anak ini menjadi ilegal sehingga dimana-mana terjadi pengusiran dan penyitaan barang.




Konsekuensi logis bagi pedagang asonganyang ditertibkan dan barang dagangannya yang disita adalah hilangnya pekerjaan dan medan kerja. Padahal anah-anak tersebut membutuhkan penghasilan, baik untuk membantu orang tua atau untuk hidupnya sendiri. Apa yang dilakukan Pemda DKI ini sesungguhnya membuka peluang bagi anak-anak untuk menjalankan pekerjaan yang lebih buruk atau bahkan melakukan pekerjaan kriminal.

Pengalaman negara Bangladesh memberikan contoh betapa tujuan mulia sebuah hukum tidak selalu berdampak positif bagi pekerja anak-anak. Rancangan Undang- Undang Harkin yang diperkenalkan ke Kongres Amerika pada tahun 1972 dengan tujuan melarang impor barang-barang yang diproduksi anak-anak berusia dibawah 15 tahun, dan diberlakukan sejak September 1996, menyebabkan industri pakaian di Bangladesh kalang kabut yang mana enam puluh persen dari produknya yang bernilai 900 juta dolar AS diekspor ke Amerika Serikat. Untuk melindungi produksi, maka pekerja anak-anak yang kebanyakan perempuan segera dipecat dari pabrik-pabrik pakaian jadi. Suatu studi yang disponsori oleh organisasi-organisasi internasional, akhirnya menemukan bahwa beberapa anak dipecat, bekerja di tempat-tempat yang lebih membahayakan. Seperti di bengkel-bengkel yang tidak aman dimana merena dibayar rendah, atau di tempat-tempat pelacuran (Bellamy, 1997).



Beberapa penelitian (Asra, 1995; Bellamy, 1997; Imawan, 1999) mengungkapkan bahwa mereka yang termiskin dan terbelakang memasok sebagian besar pekerja anak. Dengan demikian, selama pemerintah belum mampu mengentaskan kemiskinan, sangatlah ironis bila menggunakan pendekatan hukum untuk menghapus pekerja anak-anak.

Selain menyediakan pranata hukum, langkah lain yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pekerja anak-anak adalah melaksanakan Program Wajib Belajar 9 tahun. Pada tahun 1984, pemerintah mencanangkan wajib belajar 6 tahun. Atas dasar keberhasilan yang dicapai program tersebut, disamping tekad mengembangkan sumber daya manusia dalam PJP II, pemerintah pada tahun 1994 mencanangkan program Wajib Belajar 9 tahun. Berbagai negara mengakui bahwa Progra Wajib Belajar merupakan perangkat kebijakan yang efektif untuk mengurangi anak-anak bekerja. Sekalipun demikian (Sumantri, 1996) mengatakan bahwa istilah wajib belajar sebenarnya tidak cocok dengan maksud kebijakannya sendiri. Kebijakan ini rupanya lebih berpengaruh pada tekad pemerintah untuk membuat semua anak Indonesai usia 7-15 tahun dapat memperoleh kesempatan belajar selama 9 tahun. Jadi sesungguhnya ini lebih merupakan suatu tawaran bukan kewajiban. Kewajiban niscaya melibaykan sanksi, dalam hal kebijakan ini tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak bersekolah atauberhenti bersekolah pada usia tersebut. Lebih lanjut (Sumantri, 1996) menyatakan bahwa meskipun pendidikan dibebeaskan, pelaksanaan Wajib Belajar tetap membebankan biaya pada orang tua keluarga miskin termasuk opportunity cost.

Mengingat kemiskiman merupakan faktor uutama yang mendorong munculnya pekerja anak-anak, maka program pengentasan kemiskinan melalui Program Instruksi Presiden tentang Daerah Tertinggal (IDT), dapat pula dimasukkan sebagai suatu kebijakan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan anak-anak yang bekerja. Program ini merupakan upaya sistematis untuk mendorong keluarga miskin di desa-desa tertinggal untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan produktif melalui penyediaan modal kerja sebesar 20 juta rupiah ;per tahun selama tiga tahun berturut-turut, disamping juga memobilisasi dana untuk keluarga miskin yang tinggal di desa yang tidak tergolong tertinggal.

Berkaitan dengan pencegahan anak-anak bekerja, Sumantri mempunyai catatan tentang program tersebut dimana dikatakan bahwa pemberantasan kemiskinan merupakan upaya yang sangat penting dalam jangka panjang untuk menanggulangi masalah pekerja anak-anak. Namun dalam jangka pendek upaya tersebut sangat mungkin justru akan menambah beban anak. Upaya pengembangan kegiatan produktif bagi kalangan keluarga miskin boleh jadi memberi beban tambahan pada anak yang sebenarnya juga sudah bekerja membantu keluarga. Suatu penelitian yang disponsori ILO/IPEC menunjukkan bahwa hal ini sama sekali tidak dijadikan pertimbangan dalam perencanaan dalam pelaksanaan program IDT.

Disamping itu, Irwanto (1999) menyebutkan bahwa adanya kecenderungan dimana industri manufaktur mulai melibatkan runah tangga dalam sistem kontrak informal yang dikenal sebagai “sistem sub kontraktor”. Hal ini didasarkan pada penelitian Nachrowi et al (1996) dan Pardoen et al (1996) yang menunjukkan bahwa anak-anak segala usia terlibat dalam sistem berikut. Berkaitan dengan bantuan IDT bagi keluarga miskin, maka akan terbuka kemungkinan anak-anak justru akan mendapatkan pekerjaan yang lebih berat.


0 comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir :))